Ibunya berusaha payah membesarkan seorang anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat mambaca buku, anaknya tersebut hanya diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih sayang menunggui anaknya sambil menjahit baju untuk sang anak.
Saat memasuki musim gugur, adalah waktu bagi anaknya untuk memasuki sekolah menengah atas. Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah. Di sekolah itu, setiap bulanya murid-murid diharuskan membawa 30 kg beras untuk dibawa ke kantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibunya tidak mungkin bisa memberikan 30 kg beras tersebut.
Berkatalah ia pada ibunya "Bu, saya mau berhenti sekolah saja dan membantu ibu bekerja disawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata "Niat kamu sungguh mulia nak, kamu memiliki niat seeperti itu saja ibu sudah senang, tetapi kamu tetap harus sekolah, jangan khawatirkan ibu ya nak. Cepatlah pergi daftarkan ke sekolah nanti berasnya biar ibu yang mengantarnya kesana."
Karena anaknya tetap bersikeras tidak mau mendaftar ke sekolah, ibunya pun manampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh ibunya. Dengan berat hati, akhirnya anaknya pergi juga kesekolah. Ibunya terus berfikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.
Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa ibunya datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari pundaknya, pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya lalu mengambil segenggam beras tersebut dan menimbangnya. Toba-tiba dia berkata "Hai wali murid, kami tidak menerima beras yang isinya campuran beras dan gabah jangan menganggap kantin saya ini tempat penampungan beras campuran". Begitu malunya sang ibu ini, hinga tak henti-hentinya berjkali-kali meminta maaf kepada pangawas tadi..
Awak bukan berikutnya ibu ini memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin. Seperti biasanya beras tersebut diteliti oleh pengawas. Dengan alis yang mengerut, ibu pengawas berkata "Masih dengan beras yang sama" selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya".
Sang ibu sedikit takut dan berkata "Ibu pengawas, beras dirumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana?". Pengawas itupun tidak mau tau, dan berkata "Berapa luas sawah yang ibu kerjakan, sehingga berasnya bisa bermacam-macam seperti ini..?". Mendengar sindiran pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali ke sekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kat kasar dab berkata "Kamu sebagai wali murid kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama, bawa pulang saja berasmu itu !"
Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis.
Mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dilihatnya ibu tua itu tadi duduk diatas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak.
Ibu renta tersebut menghapus air mata dan berkata "Saya menderita rematik stadium terakhir, bahlan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku mengerti kondisiku sehingga mau berhenti sekolah untuk membantu bekerja disawah, tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi."
Selama ini saya tidak pernah memberi tahu sanak saudara yang ada dikampung sebelah, lebih-lebih untuk mengatakanya pada anakku, aku takut melukai harga dirinya.
Setiap hari pgi-pagi buta dengan kantobng kosong dan bantuan tongkat, aku pergi kepasar beras, hanya untuk mengemis beras=beras yang tercecer di trotoarnya. Dengan susah payah aku mendatangi toko demi toko hanya untuk mencari ceceran itu sampai hari sudah gelap, akupun pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sehingga sampai pada awal balan semua beras yang terkumpul memenuhi syarat untuk diserahkan kesekolah.
Pada saat ibu tua itu bercerita, secara tidak sadar air mata pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata "Bu, sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu."
Sang ibu buru-buru menolak dan berkata "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."
Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam-diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi Qing hua dengan nilai 627 point.
Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu anak ini duduk di atas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang.
Yang lebi aneh lagi disana masih ada terdapat 3 kantong beras. Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan sebuah kisah tentang seorang ibu yang mengemis beras demi sekolah anaknya. Kepala sekolah pun menunjukkan 3 kantong beras iru dengan penuh haru dan berkata kapada para hadirin seraya menunjuk pada ibu tadi "Inilah sang ibu dalam cerita tadi"
Dan mempersilakan seng ibu yang luar biasa tersebut untuk naik ke atas mimbar. Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat ke arah gurunya yang sedang menuntun ibunya berjalan keatas mimbar.
Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan, pandangan ibu yang hangat dan lembut kepada anaknya membuat sang anak tak kuasa untuk menahan tangisanya, dipeluknya sosok tua dihadapannya itu dan merangkul erat ibunya sambil terisak saraya berkata "Begitu mulianya engkau ibu, sunggu aku tak bisa untuk membalasnya..."
Sumber : http://www.kaskus.us
Posting Komentar